Langsung ke konten utama

QULUB AL AHRAR QUBUR AL-ASRAR KH.Husein Muhammad


Adalah menarik membaca statemen pemikir muslim klasik paling berpengaruh seanjang zaman; Imâm Abû Hâmid al-Ghazâlî (w. 505 H/1111 M). Dalam buku Masterpicenya, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, ia mengutip Imam Alî bin Abî Thâlib yang mengatakan: “Qulûb al-Abrâr, Qubûr al-Asrâr”. (al-Ghazâlî, Ihyâ’, I/57). Sebagian sufi menyebut:“Qulûb al-Ahrâr, Qubûr al-Asrâr. Hati orang-orang bijak-bestari/bebas-bersih adalah kuburan rahasia). Intinya adalah bahwa pikiran-pikiran mereka banyak yang disimpan dalam hati, bagai di dalam kuburan. Mereka mengerti bahwa gagasan dan kata-katanya sering sulit dipahami oleh umum yang akibatnya bisa buruk dan membahayakan diri. Dalam banyak pengalaman ucapan-ucapan, pernyataan-pernyataan dan pandangan-pandangan mereka dalam isu-isu keagamaan atau ketuhanan acap dianggap oleh “awam” atau yang berpikir seperti orang “awam” telah menyimpang, sesat dan menyesatkan. Mereka dituduh kafir, murtad, musyrik, zindiq dan stigma-stigma prejudis yang sejenisnya. Pada gilirannya “al-abrar” atau “al-ahrar” tersebut divonis hukum halal darahnya dengan mengatasnamakan agama atau Tuhan. Seringkali pula tuntutan penguhukuman yang hampoir selalu dibarengi teriakan-teriakan “Allah Akbar” itu kemudian didukung oleh penguasa dengan alasan menjaga stabilitas atau dengan cara membiarkannya. Sebagian politisi bahkan sebagian tokoh agama, organisasi keagamaan dan partai politik juga mendukung atau paling tidak membiarkan aksi-aksi kekerasan itu terus berlangsung di tengah-tengah masyarakat.

Ucapan-ucapan keagamaan para ‘al-ahrar’ yang dianggap menyesatkan itu dalam sejarahnya pada umumnya berhubungan dengan tema-tema yang mengusung pluralisme agama (al-ta’addudiyyah), kebebasan berpikir (al-hurriyyah), kesatuan wujud (wihdah al-wujûd), kemanunggalan kula-Gusti (Ittihâd) atau atau ‘wihdah al-adyân’ (kesatuan agama-agama). Sebagian lagi tentang gagasan-gagasan besar yang berkaitan dengan kritik epistemologis dan metodologis. Misalnya gagasan “al-‘Aql Muqaddam ‘ala al-Naql” (Akal mendahului teks agama), “kharq al-Ijma’” (pembatalan consensus) dan sejenisnya. Bahkan juga dalam hal-hal partikular, seperti waris 1:1 untuk laki-laki dan perempuan dan Nikah beda agama, sekedar member contoh. Dalam beberapa waktu belakangan ini, di negeri ini (bahkan di sejumlah Negara), isu-isu di atas, menimbulkan kontroversi tajam bahkan sampai melahirkan fatwa ‘sesat’, ‘kafir’, murtad, bertentangan dengan agama dan stigma-stigma lain yang membunuh karakter seseorang atau golongan tertentu. Atas dasar fatwa keagamaan tersebut, massa awam terpicu untuk melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama keputusan Tuhan/agama.

Kisah Klasik

Peristiwa-peristiswa kekerasan dan tragedi kemanusiaan atas nama agama tersebut sesungguhnya telah berlangsung hampir sepanjang sejarah kaum muslimin di berbagai tempat di dunia. Korban kekerasan tersebut hampir seluruhnya adalah tokoh-tokoh besar, pemikir besar dan kaum sufi terkenal. Imâm Jalâl al-Dîn al-Suyûthî pernah mengatakan: “ma kâna kabirun fi ‘ashr (fi Qawmin) qathth illa kâna lahu ‘aduwwun min al-safalah” (tidak seorang besar pun dalam suatu zaman/suatu komunitas, kecuali ia memiliki musuh orang-orang awam).

Sejarah kaum muslimin pernah mencatat nama-nama besar yang menjadi korban kekerasan tersebut baik secara fisik, psikologis, deprivasi maupun alienasi sosial. Abû Yazîd al-Busthâmi, seorang sufi besar, diusir dari negaranya. Ini karena ucapannya: “Subhânî mâ a’zhama Sya’nî” (Maha Suci aku betapa Agungnya aku). Dzûn Nûn al-Mishri, sufi terkemuka, digelandang ramai-ramai dipimpin sejumlah ‘ulama’, dari Mesir ke Baghdad dengan tangan dan kaki yang dirantai. Publik awam ikut serta menuduhnya kafir zindiq. Sahl al-Tusturî, diusir dari negaranya ke Bashrah setelah dituduh kafir. Ini mungkin gara-gara ucapannya: “al-Taubah Faridhah ‘ala al-‘Abd fi Kulli Nafas”(Taubat adalah wajib bagi setiap hamba Allah pada setiap hembusan nafasnya). Abû Sa’îd al-Kharaz, ulama besar divonis kafir oleh para ulama lain gara-gara tulisannya yang kontroversial. Abû al-Qâsim al-Junaid al-Baghdâd, sufi agung, berkali-kali dikafirkan karena ucapan-ucapannya yang aneh tentang Ketuhanan. Ia akhirnya mendekam di rumahnya sampai mati. Tokoh besar yang paling populer kisah penderitaannya adalah Abû Manshûr Husein al-Hallaj. Ia dituduh kafir dan menyesatkan gara-gara ucapan-ucapannya, antara lain: “Ana al-Haq”(Akulah Kebenaran) atau ucapannya yang lain: “Laisa fî al-Wujûd illa Allah” (tidak ada sesuatupun dalam wujud ini kecuali Tuhan), atau “Ma fi al-Jubbah Illa Allah” (Yang ada di Jubbahku hanya Allah) dan lain-lain. Ia dikenal sebagai pencetus paham ‘ittihâd’ (manunggaling kawula lan Gusti). Ia akhirnya divonis mati di tiang gantungan. Sama dengan al-Hallaj adalah Muhyiddîn Ibnû ‘Arabî, seorang sufi dengan predikat populer ‘al-Syaikh al-Akbar’ (guru besar). Ia terkenal dengan pandangannya tentang ‘wihdah al-adyân’ (kesatuan agama-agama) sebagaimana ungkapan dalam bukunya yang terkenal Tarjuman al-Asywaq atau bukunya yang lain. Ia juga dikenal sebagai pendiri paham ‘wihdah al-wujûd’. Nama-nama tokoh besar lain yang mengalami nasib serupa; dikafirkan, adalah al-Syibli, Syeikh Abû al-Hasan al-Syadzili, ‘Izz al-Dîn bin ‘Abd al-Salam, Taj al-Dîn al-Subkî dan lain-lain. (Baca: Zaki Mubarak, Al-Tasawwuf al-Islâmi fî al-Adab wa al-Akhlâq, hlm. 141-143). Tokoh lain yang mengalami stigmatisasi sejenis adalah kaum filosof semacam Ibn Sina, Ibn Bajah atau Ibn Rusyd.

Kisah Kontemporer

Pada era kontemporer, kekerasan yang dilakukan massa awam dengan tuduhan menentang atau merusak kesucian agama juga dialami oleh para pemikir muslim progresif, antara lain Ustaz Mahmûd Muhammad Tâha dari Sudan. Ia harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan dengan vonis pengadilan, gara-gara pikiran-pikiran pembaharuannya yang dianggap menghancurkan syari’ah. Ia menulis buku yang sangat kontroversial: Al-Risâlah al-Tsâniyah (Missi Kedua). Lalu Profesor Nasr Hâmid Abû Zaid dari Mesir. Ia divonis murtad dan diceraikan dari isterinya dengan keputusan pengadilan karena usahanya merekonstruksi metodologi keilmuan Islam konservatif dan kritiknya yang sangat tajam terhadap Imam al-Syâfi’î. Buku-bukunya yang kontroversial antara lain: Al-Imâm al-Syâfi’î wa Ta’sîs al-Ideologia al-Wasathiyah dan Mafhûm al-Nash. Di Indonesia, ada sejumlah nama yang dicaci-maki, dituduh sesat atau murtad dan dihalalkan darahnya. Tokoh paling popular adalah Gus Dur (Allah Yarham) . Kita bisa membaca nama-nama mereka, misalnya dalam buku “50 Tokoh Islam Liberal”, kumpulan Budi Handrianto.

Saran

Sejumlah ulama antara lain Imam Al-Ghazâlî akhirnya memberi saran bijak kepada kita dengan mengutip ucapan Nabi Muhammad saw: “Kami, para Nabi, diperintahkan untuk mendudukkan orang pada tempatnya, kami bicara dengan mereka menurut kemampuan akal pikiran mereka”. Nabi juga mengatakan: “tidak seorangpun bicara kepada massa dengan ucapan-ucapan yang tidak sampai pada akal pikiran mereka, kecuali akan menimbulkan ‘fitnah’, kekacauan di antara mereka”. Ini tidak berarti bahwa kebenaran dan kebaikan harus disembunyikan atau tidak boleh disampaikan kepada masyarakat sebagaimana hadits Nabi yang melarang siapapun menyembunyikan ilmu pengetahuan (Kitman al-Ilm). Seorang ulama menjawab dengan mengutip ayat al-Qur’an: “Wa La Tu’tuu al-Sufaha Amwalahum” (jangan berikan harta itu kepada orang-orang bodoh). Artinya jangan berikan harta milik mereka manakala mereka masih bodoh. “Fa Hifzh al-Ilm min Man Yufsiduhu wa Yadhurruhu Awla”. Menjaga ilmu dari orang-orang yang akan merusak dan membahayakannya adalah lebih baik. Dalam syair yang dikutipnya dari Imâm al-Syâfi’î, Abu Hamid al-Ghazâlî menyampaikan:

فمن منح الجهال علما اضا عه ومن منع المستوجبين فقد ظلم

Fa Man Manaha al-Juhhâla ‘Ilman Adhâ‘ahu
Wa Man Mana’a al-Mustawjibîna fa Qad Zhalam
Memberi mereka yang tak paham,
Pengetahuan (ini) adalah sia-sia
Tetapi menolak memberikannya
kepada yang paham adalah kezaliman.
(Ihyâ’, I/57).

Dan al-Ghazâlî juga mengatakan:
ليس كل سر يكشف ويفشى
Laisa Kullu Sirrin Yuksyafu wa Yufsya
Tidak setiap rahasia disingkap dan disebarkan

Seorang sufi besar dari Mesir dalam puisinya menyatakan:

ومستخبر عن سر ليلى تركته بعمياء من ليلى بغير يقين
يقولون خبرنا فأنت امينها وما أنا إن أخبرتهم بأمين

Wa Mustakhbirîn ‘an Sirri Laila Taraktuhu
Bi ‘amyâa min Laila bi Ghair Yaqîn
Yaqûlûna Khabbirna fa Anta Aminuha
Wa Mâ Ana in Akhbartuhum bi Amîn

Mereka memintaku bercerita
tentang rahasia Laila,
aku diam dan membuta saja
Laila tetap dalam keremangan
Mereka mendesak:
“Ceritakan dia kepada kami,
anda orang terpercaya”
Dan aku, O, jika aku ceritakan
Mereka tak lagi percaya.[

sumber: Generasi Muda NU


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wan Ali, Sang Godfather Tanah Betawi

Wan Ali dan Habib Ali Bungur Ada satu nama di wilayah Kebon Nanas Jakarta Timur yang sangat disegani pada era tahun 1950-an. Wan Ali namanya. Orangnya gagah, tubuh tinggi besar, berdada bidang, berkulit putih bersih dengan wajahnya yang rupawan. Ia lebih memilih kuda berwarna putih sebagai tunggangannya sehari-hari. Kalau sedang menunggang kuda salah-salah orang bisa mengira ia adalah orang Belanda yang tengah patroli keliling kampung.  Pemerintah RI tidak mengenalnya sebagai pahlawan, namun semua jawara Betawi yang hidup sejaman dengan Wan Ali tahu kalau Wan Ali secara terang-terangan telah seringkali melakukan serangkaian perlawanan kepada pemerintah Belanda dan Jepang, sama seperti yang dilakukan para pahlawan lain.  Bedanya, pemerintah Belanda dan Jepang tidak terlalu berani ambil resiko berhadapan dengan orang satu ini. Dan satu lagi, Wan Ali secara prinsip berseberangan dengan para jawara beraliran hitam. Dunia Betawi saat itu mengenal Wan Ali sebagai prib...

Manaqib Al Imam Asy-Syadzili Karya Mbah Dalhar Watucongol

Berisi 46 halaman ,sebuah manaqib ringkas Quthbil Aqthob Syekh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili qoddasallahu sirrohu  karya Mbah Dalhar bin Abdurohman Watucongol Magelang ditulis ulang oleh KH. Zimam Hanif  dengan sanad dari Mbah Muhaiminan Gunardo Parakan Temanggung dan diterbitkan oleh Jam'iyyah Solawat Ala Sayidis Sadat Rotib dan Manakib "Asy Syarifiyyah" Krapyak Lor III A No.1 Kota Pekalongan. Mbah Dalhar Quthbil Aqthob Syekh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili  qoddasallahu sirrohu dilahirkan di Syadzilah, Ghumaroh, Afrika Utara - saat ini masuk ke dalam teritorial negara Maroko- tahun 593 H / 1196 M. Di usia 6 tahun pergi ke Tunis, hatinya terenyuh melihat wabah kelaparan di sana, dia memohon agar bisa menolong orang-orang yang kelaparan, atas ijin Allah dia mendapatkan uang secara 'tajrid' dari Allah dan ia gunakan untuk membeli roti untuk penduduk yang kelaparan. Makam Imam Asy-Syadzili di Mesir Saat itu bertepatan hari jum'at, kumandang azan menuntun Imam Asy-Sya...

Jawaban Atas Pertanyaan Khariz El-Mall - Part 1 -

Koreksi akibat gaya tarik bulan tidak ada di kitab hakiki bi tahkik semisal Nurul Anwar dan Khulasoh,. tapi ini menarik untuk di kaji. sebab sebetulnya setiap variabel apapun pasti memberikan pengaruh, gaya tarik bulan menyebabkan terjadinya pasang surut permukaan air laut /selanjutnya ditulis Pasut/. Pasut adalah poin penting dalam penentuan Mean Sea Level .. permukaan air rata2 akan berdampak pada ketinggian/elevasi suatu tempat. seperti kita ketahui elevasi suatu tempat pengamatan dari permukaan laut adalah salah satu poin penting dalam rumusan penentuan arah kiblat/waktu solat atau pengamatan benda langit. mestinya ada data update ketinggian suatu tempat dari permukaan dari masa ke masa. Variasi, apakah yg dimaksud variasi magnetik, kalo yah. variasi megnetik di kitab Hakiki bi Tahkik tak ada. variasi magnetik biasanya disediakan oleh badan resmi milik pemerintah atau peneliti yg mengamati beda magnetik bumi selama kurun waktu tertentu, kalo tuk ngitung arah kiblat wajib tapi kalo ...